Pages

Minggu, 06 November 2011

Nenek Cantik di Stasiun Tua



1320229002554081379
Stasiun Baron
Sejak ditugaskan di sebuah kota kecamatan di wilayah Nganjuk Jawa Timur, aku tetap meluangkan waktu untuk bersepeda. Sabtu siang selalu jadi jadwal rutinku bersepeda bersama anak-anak. Sesekali isriku ikut serta bersepeda bersama kami.
Jalur warujayeng-stasiun Baron adalah rute favorit kami. Jalur sepanjang sekitar 5 km itu hanya jalur persawahan, tetapi sudah beraspal hotmix. Selain beberapa mobil pribadi dan truk pengangkut hasil panen, tidak banyak kendaraan bermotor lewat jalur itu.
Stasiun Baron menjadi tujuan kami setiap kali bersepeda. Apalagi anakku suka sekali melihat kereta api. Sejak kecil mereka paling betah bila diajak ke stasiun. Mereka bisa bertahan berjam-jam di sana meski hanya duduk-duduk sambil makan makanan kecil dan melihat kereta berlalu lalang.
Sebelum masuk ke stasiun beberapa kali aku sempat mampir ke toko yang lumayan besar di pinggir jalan raya seberang stasiun. Toko itu dilayani dua atau tiga karyawati dan seorang wanita paroh baya sekitar usia 50-60 tahunan yang duduk di meja kasir. Meski sudah cukup tua, garis wajah perempuan tua itu jelas memperlihatkan kalau saat muda dia memiliki wajah cantik rupawan.
Wanita itu selalu memperhatikan aku setiap kali aku mampir ke tokonya. Suatu kali dia sempay menyapaku, “Anak tinggal mana?”
“Di Warujayeng, Bu” Jawabku santun.
“Ini putera-puteranya?” Tanyanya sembari mengelus kepala anak bungsuku yang masih kelas 1 SD.
“Dari bicaranya kok kaya bukan orang sini?”
“Iya bu. Saya dari Bandung”
“Oh… Tugas di sini baru empat bulan”
“Hmmmm. Setiap sabtu sepertinya ke sini”
“Iya. Anak suka lihat kereta di stasiun”
Sepertinya dia ingin bertanya banyak hal, tapi aku keburu berpamitan, karena anak-anakku keburu tidak sabar ingin bermain di stasiun. Akupun berpamitan ke stasiun. Saat menengok ke arah toko, sekilas kulihat dia terus memandangi kami, tapi kami terus saja berlalu.
Sabtu berikutnya aku tidak mampir ke tokonya, karena kami sudah membeli beberapa minuman dan makanan kecil sejak di perjalanan. Sesampai stasiun aku sudah bertemu wanita itu duduk kursi tunggu di pinggir rel kereta. Di sebelahnya tampak sebuah tas yang kelihatannya berisi beberapa botol minuman seperti yang biasa kami beli di tokonya.
Aku hanya mengangguk saat melintasi di depannya. Aku pikir dia mungkin akan pergi naik kereta api, tapi setelah beberapa kereta berlalu, dia hanya diam di sana. Dia tampak sering memperhatikan anak-anakku sambil sesekali tersenyum melihat polah tingkah mereka. Sesekali dia melihat ke arahku beberapa detik sebelum kemudian mengalihkan pandangan ke anak-anakku.
Sejak saat itu, aku selalu bertemu wanita itu setiap kali ke stasiun. Dia selalu duduk di kursi yang sama beberapa lama dan kelihatannya suka memperhatikan polah tingkah anak-anakku.
Suatu kali dia bahkan memberi anak-anaku minuman saat kebetulan bekal minuman kami habis. ia juga memberikan beberapa permen makanan kecil dan beberapa bungkus ampyang, makanan kecil terbuat dari kacang dan gula merah. Dia menolak saat aku menyodorkan uang ganti minuman itu. “Sudahlah, buat cucu sendiri nggak apa-apa” Kilahnya ramah.
Anak-anak begitu girang menerima pemberian itu. Kecuali ampyang gula merah, mereka melahap semua makanan dan minuman pemberian ibu itu. Akulah yang menghabiskan makanan tradisional itu, karena aku memang paling suka dengan makanan kecil itu.
Dalam hati aku sempat penasaran dengan sikap perempuan itu. Aku perhatikan dia selalu tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca setiap melihat anak-anakku kegirangan menyambut kereta datang. Beberapa kali kuperhatikan dia terus mengawasi kami saat meninggalkan stasiun.
Beberapa kali aku mencoba bicara dengan perempuan itu, tapi aku urungkan, karena aku tak tahu harus mulai dari mana. Rasa penasaran itupun berhasil kutepis, karena selain ibu itu banyak orang menghabiskan waktu di stasiun tua itu. Meski hanya stasiun kecil, pemandangan di sekitar stasiun cukup membuat perasaan lega, ditambah hembusan angin yang mengusir terik mentari.
Tugas luar kota dua minggu ini membuat aku tidak sempat bersepeda bersama anak-anak. Pulang dari luar kota, aku kembali bersepeda bersama mereka. Kebetulan kali ini istriku ikut serta. Saat kami bersepeda ke sana lagi, kulihat nenek cantik itu tak ada di sana. Di kursi yang biasa ditempati ibu itu duduk seorang perempuan muda, yang seingatku pelayan toko di seberang jalan.
Saat anak-anak asyik bermain aku beranikan diri mendekati perempuan itu. “Mbak, ibu yang punya toko di mana? Biasanya di sini”
“Ibu sakit”
“Sakit apa?”
“Kurang tahu. Sudah seminggu ini tidak beranjak dari tempat tidur”
“Nggak dibawa ke rumah sakit”
“Ibu nggak mau”
“Boleh aku nengok ke sana?” Perempuan itu hanya mengangguk.
Akupun mengajak istri dan anak-anakku ke toko di seberang jalan raya depan stasiun. Sesampai toko, pelayan itu mengantarku masuk ke ruang belakang. Saat masuk ruang keluarga, tiba-tiba perasaanku tergetar melihat foto hitam putih sepasang muda-mudi yang dipajang di diding rumah itu. Foto paasangan lelaki itu mirip dengan aku saat muda. Hanya saja tubuhnya sedikit kurus.
Belum habis rasa terkejutku, tiba-tiba ibu itu keluar dari kamar sembari berpegangan dinding. Aku segera bangkit memapahnya ke sofa, tapi dia malah memelukku erat-erat sambil menangis sesenggukan. Aku bingung, begitu pula istri dan anak-anakku. Beberapa lama kubiarkan dia terus menangis dan entah kenapa akupun merasa terharu dan ikut menangis.
“Kamu pulang, nak. Kamu pulang, nak…” Berulang kali dia mengatakan itu sambil menangis tersedu.
“Aku sudah lama menunggu kamu. Aku yakin kamu pasti pulang”
“Iya ibu. Sekarang ibu duduk dulu”
“Tidak. Aku masih ingin memelukkmu” Tolak perempuan itu. Akhirnya kubiarkan dia menuntaskan tangisannya. Aku tak bisa berkata apa-apa saat ibu itu mulai duduk tenang di atas sofa. Aku benar-benar tak mengerti maksud perempuan itu, hingga dia bertanya.
“Kamu Bagus, kan? Kamu anakku” Ucap itu yang kembali disusul tangis dan cucuran air mata. Aku tak menjawab sebab namaku bukan Bagus tapi Ayus.
“Aku yakin kamu Bagus. Kamu anakku Bagus Seroja” Lagi-lagi ibu itu menangis sambil memelukku erat-erat. Akhirnya kubiarkan saja dia meluapkan perasaannya.
Saat mulai tenang, aku baru mulai bertanya, “Maaf, bu. Namaku Ayus Oja, bukan Bagus… siapa tadi?”
Ibu itu tersenyum lebar dengan air mata yang memenuhi wajahnya. “Iya. Itu karena lidah cedal kamu waktu masih anak-anak dulu. Kalau ditanya namamu siapa, kamu jawabnya Ayus Oja” Jelasnya sambil tertawa geli.
“Itu almarhum ayahmu. Mirip kamu, kan?” Sambungnya dengan wajah berbinar saat aku menoleh ke arah foto hitam-putih di dinding.
“Dia meninggal waktu operasi seroja di Timor Timur. Karena itu kamu diberi nama Bagus Seroja”  Sambungnya lagi.
Aku bingung harus berkata apa. Kulihat perasaan yang sama dirasakan istriku  dan mungkin juga anak-anakku. “Jadi, bapak itu putra ibu?” Tanya istriku ragu-ragu.
“Benar”  Jawab ibu itu begitu yakin.
“Dia anakku. Kamu lucu sekali waktu itu, kaya ini” Sambungnya sambil menunjuk si ragil.
“Lidahmu cedal. Menyebut namamu sendiri belum bisa, Ayus Oja… Ayus Oja… tapi kamu sudah banyak bicara”
“Waktu kecil, kamu paling suka main di stasiun ini sambil makan ampyang. Ibu sangat sedih waktu kamu tiba-tiba hilang  terbawa kereta. Karena itu aku selalu di stasiun itu di setiap jam kedatangan kereta. Aku yakin, kamu pasti pulang” Jelasnya lagi.
Dia begitu bersemangat bercerita tentang masa kecilku hingga suara makin parau. “Lihat pingganggmu” Pinta ibu itu seraya menarik kaosku. “Ada noktah hitam kaya pulau Bali” Sambungnya.
Aku benar-benar terhenyak, sebab tanda lahir itu memang ada padaku. Dalam hati sebenarnya aku masih bertanya-tanya bagaimana mungkin ayak-ibuku di Bandung bisa menyimpan cerita masa laluku, bila aku memang bukan anaknya. Terpikir olehku untuk segera mencari tahu, tapi cerita demi cerita ibu itu membuatku kian yakin, dia memang ibuku. Kekuatan cinta dan pengharapannya membuat aku kembali ke pangkuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar